12.2.15

Teruntuk yang di hati

Teruntuk yang di hati.
Dari aku, yang merindu.

Kapan bisa bertemu?
Inginnya duduk bersama
Bicara tentang hidup, perasaan, dan masa depan.

Setiap hari hanya lewat saja di depan sana.
Apa tidak pernah terlintas untuk mampir?
Mungkin sekedar menampakan diri begitu?
Itu juga sudah cukup membahagiakan.

Maaf kalau akhirnya ada dinding-dinding pembatas yang terbangun di antara kita.
Semata untuk menjaga hati masing-masing agar tetap aman.
Tidak tergores.

Maaf juga kalau aku masih terus menyimpan rasa, rindu, serta harap.

Maaf pula karena membuatmu terus tidak nyaman.

Kalau belum ada "kesempatan" bagi kita,
tidak apa.
Juga kalau memang tidak akan pernah ada,
tidak apa.

Bila memang ada yang lain, yang telah dipilih,
biarlah rasa yang aku simpan memudar dulu.
Sisihkan sedikit dari waktumu untuk menunggu.
Baru setelah itu tinggalkan saja diri ini untuk mengejar mimpimu bersama yang telah dipilih.

Ini rasaku.
Tapi menjadi bebanmu.
Maafkan ya.

Aku mengasihimu.
Walau mungkin kamu enggan menyebutnya kasih
karena itu tidak memenuhi kriteria kasih seperti yang ada di kepalamu.

Ya kalau begitu, sebut saja aku mengharapkan kasih darimu.
Biar aku mengerti seperti apa kasih yang terbayang di dalam kepalamu.

Sekali lagi maaf kalau aku terus mencoba segala cara demi terciptanya "kesempatan" untuk kita.

Aku ingin melepasmu dari hati ini,
tapi rindu yang memanggil namamu menggema terus di kepalaku.

Sebenarnya sungguh sadar bahwa ketika hati ini melepasmu,
tentu semuanya akan terasa lebih baik untukmu.
Sudah beberapa kali mencobanya.
Tapi maaf, masih gagal rupanya.

Ego di dalam diri ini sepertinya lebih memenangkan suara yang bilang:
Biarkan saja rasa ini tinggal, sampai ia rela beranjak pergi dengan sendirinya.

Maafkan ya.

Jikalau Tuhan berkenan,
sejujurnya aku masih mengharap keajaiban.



6.1.15

Apa "ini" ada ujungnya?

Selamat tahun baru! *ngomong sama layar komputer* *gila dong?*

Well, another year has just started.
Nothing is so special about new year besides a reflection of His faithfulness during the year that has been passed and toward the running year.

And yes, rasa-rasanya emang gak ada yang spesial-spesial amat (si Amat sih emang ga spesial) tentang memasuki tahun 2015 ini.

Tahunnya memang baru, tapi...
Gw gak beli baju baru buat ngerayainnya...
Kerjaan juga gak baru, hari ke-2 di tahun 2015 gw masih ke kantor yang sama...
Perasaan apalagi *tsahelah* rasa ini masih untuk dia, bukan seseorang yang baru di perjalanan hidup gw...

Ya ngomong-ngomong soal tahun baru si cuma intro aja sebenernya.
Topik utamanya mah tentang si seseorang (yang sama sekali tidak baru) itu...

Karena dia hadir lagi dan gak cuma sekedar hadir, maka jadilah gw pengen ngebahas dia(lagi).

Bisa dibilang current state kita (gw dan dia) seperti mengulang...
Kita udah pernah ada di state ini...
Personally, gw benci banget ada di state ini lagi.
Tapi kalo inget message dia yang satu baloon panjang sendiri di line, subuh-subuh pula, maka mengertilah gw kalo memang ini state ternyaman buat dia...
Dia memang menginginkan kita stay di state ini

Okey, dari tadi gw ngomongin current state which is belom gw jelasin spesifiknya kaya apa.
Well, ini situasi dimana gw dan dia cukup intens berkomunikasi: cerita, curhat, ngobrolin dari yang penting sampe yang ga penting banget.
Seems so fine, rite?
But it's not as it seems
Kenapa?
Karena ketika kita ngobrol, ujung dari obrolan kita bisa sangat sweet bisa juga jadi berantem.
Bukan cuma itu, dari obrolan-obrolan itu banyak bagian yang bikin gw bingung
Maunya dia apa si? Maunya dia tuh gw harus gimana?
The way he treats me is definitely confusing.
Sekali dua kali care...nah tiga empat kali nyakitin...

Di state ini, dia memberi perhatian tanpa menginginkan gw menaruh harapan kepada dia -__-"
Ya susah dong ya posisi gw...
Menurut ngana aja deh...diperatiin sama orang yang lo sayang tapi lo ga boleh ngarep disayang balik sama dia *ngok*
Dan kalo gw mau keluar dari state ini, maka dia akan dengan serta merta ngambek dengan tuduhan he is being neglected...
He will say nobody cares...yang mana di depan mata dia ada somebody who really really cares about him.
Nah kalo gitu kan gw jadi mengurungkan niat to leave our current state..
Terlalu lemah ya? Memang begini adanya...

Anyway, kalo kita stay in our current state, bisa dipastikan gw yang rugi.
Karena state ini, disadari atau tidak, memaintain gw untuk tetap stand by his side tanpa harus mengikat gw dengan sebuah kejelasan.

Gw akhirnya sampai di titik apakah "ini"akan ada ujungnya?
"Ini" dalam kalimat di atas merujuk kepada our current state
Karena gw (yang terlalu lemah ini) roman-romannya akan selalu gagal keluar dari state ini, kalaupun berhasil kemungkinan besar akan kembali...
Sedangkan dia? Kayanya lebih ga mungkin lagi si (mau keluardari zona nyaman nan menguntungkan ini)

Yah, I'm so dead curious (or maybe just tired) to know what will be the end of this state...

5.12.14

at this point, I think you're selfish

Sebenarnya sudah tidak ingin membahas lagi, apapun itu tentang dia.
Ya anggaplah ini yang terakhir, saya akan bahas semuanya.
Ya, semuanya...semua yang tidak pernah tersampaikan.

Saya pada akhirnya merasa bahwa mungkin dia memang tidak baik buat saya.
Apa yang terjadi seminggu kebelakang, membuat saya berpikir ternyata dia egois.

Saya sebelumnya melihat dia sebagai figur yang bisa dikatakan (sangat)baik untuk ukuran seorang laki-laki.
Tidak peduli berapa kalipun teman-teman terbaik saya berkicau tentang dia yang dilihat dari manapun tidak bagus-bagus amat (kata mereka).

Saya biasa berpikir bahwa toh di dunia ini tidak ada orang yang sempurna, segala kekurangan dia kalau ditimbang-timbang...yah...ketutuplah sama semua kebaikannya.
Itu yang selalu ada di otak saya ketika teman-teman saya mulai geregetan mendengarkan cerita-cerita saya tentang dia.
Ya...begitulah kalau kerja hati(perasaan) lebih dominan dari kerja otak.
Ya namanya juga pake "sayang"

Bertahun-tahun (sebenarnya tidap pernah berpikir kalau akan sampai menjadi hitungan tahun) saya membiarkan diri saya melihat dia dengan pemahaman seperti itu.
Ada begitu banyak eksepsi-eksepsi yang saya ciptakan di sepanjang tahun-tahun tersebut.
Ada banyak hal yang baru saya sadari bahwa tadinya hal-hal macam itu termasuk dalam kategori "enggak banget" di sudut pandang saya ketika menilai laki-laki, namun kemudian menjadi "sebenernya engga apa-apa sih" ketika hal-hal tersebut ada di diri dia.

Saya sempat bertanya sama diri saya, apakah ini simpati atau sayang?
Tapi ketika air mata mulai hadir dalam perjalanan ini, saya pikir ini bukan sekedar simpati atau bahkan empati.
Ketika dada ini sesak melihat dia terpuruk, saya percaya bahwa ada dia di salah satu sudut hati saya.
Dan ketika dia hadir dalam doa-doa (bukan satu dua kali) saya, bisa dipastikan dia menempati ruang khusus di hati saya.

Sesungguhnya saya tidak pernah meminta dia pada Tuhan dalam doa-doa saya kalau saya tidak salah ingat.
Namanya terucap di doa saya semata untuk memintakan hal-hal yang terbaik terjadi padanya.
Meski di bulan-bulan terakhir, namanya juga hadir ketika saya bercerita pada Tuhan betapa perasaan saya untuk dia semakin menyesakkan.

Saya tau bahwa yang dia hadapi beberapa tahun terakhir ini tidak mudah.
Saya juga termasuk orang yang percaya bahwa kita tidak boleh melihat persoalan orang lain lebih ringan atau lebih berat dari yang kita miliki karena kita tidak tau apa yang akan terjadi jika kita di posisi mereka.
Dan karena inilah saya sempat berjanji pada diri saya untuk menyimpan rasa ini untuk saya sendiri.
Tapi pada akhirnya saya tidak menepati janji itu.

Mungkin saya terlalu banyak berharap, atau mungkin saya yang telah mengartikan banyak hal yang dilakukannya kepada saya secara berlebihan, atau mungkin juga rasa yang saya simpan sendiri itu terlalu menyesakkan saya... atau apalah.. saya juga tidak menegrti.
Hingga salah satu teman saya bilang bahwa kenapa harus disimpan sendiri, pusing sendiri, galau sendiri, sedih sendiri.
Kalau itu semua karena dia, maka dia berhak untuk tau.
Tapi kemudian saya berpikir, dia harus tau? Itu berarti saya harus mengatakan(lagi) apa yang saya rasa kepada dia...
Ini akan jadi lelucon buat diri saya sendiri. Saya hanya akan mempermalukan diri saya sendiri.
Tidak cukupkah sekali untuk menyatakan perasaan? Sebegitunyakah diri ini menginginkan dirinya?

Sementara pertanyaan-pertanyaan itu menggema di kepala saya, semua asumsi tentang apa yang sedang berlangsung anatara saya dan dia juga terus berjalan.
Teman saya kemudian bilang lagi bahwa semua yang ada di kepala saya hanyalah asumsi (ya benar memang).
Dan semua asumsi itu hanya menyusahkan saya.
Kalau saya mau berhenti berasumsi dan tau apa yang sedang terjadi, maka saya harus bertanya pada dia.
Begitu kata teman saya.

Maka tibalah saya di titik kelelahan yang sangat luar biasa bergulat dengan asumsi-asumsi saya.
Lalu saya putuskan untuk bertanya kepada dia semata untuk mencari kejelasan.
Dengan menenggelamkan seluruh harga diri ini, saya bertanya.

Dan tanpa saya tulispun, pasti sudah jelas sekali apa jawabannya.
Kalau jawabannya membahagiakan, tentu saya tidak akan menulis post sepanjang ini.
Tapi poin pentingnya bukan soal bahagia, tapi apakah jawabannya cukup menjawab semua yang saya ingin tau.
Ternyata tidak menjawab semuanya memang.
Tapi paling tidak, dengan jawaban singkat yang dia berikan saya tahu bahwa "kesempatan"itu tidak ada buat kami berdua.

Selepas menerima jawaban singkat nan pahit tersebut, saya menutup semua kontak dengan dia (bukan karena saya ingin).
Dan saya memberitahu dia sebelum melakukan itu.
Saya pikir, saya butuh waktu (entah berapa lama) untuk bisa mematikan rasa yang ada, juga menghapus semua harapan yang sempat tercipta.
Satu-satunya cara mensukseskan itu semua pasti dengan ketidak-hadiran dirinya di hari-hari saya.

Tidak mudah (sulit sekali lebih tepatnya) menjalani hari-hari saya dalam kekecewaan dan absensi dirinya.
Saya banyak meracau di hampir semua akun media sosial yang saya punya.
Ini baik untuk melepaskan semua energi negatif hari-hari itu, dan tanpa ada dirinya di semua media sosial itu juga membuat saya tidak khawatir kalau-kalau dia akan terbebani oleh semua racauan saya.
Tentu haya akan menyakiti dia kalau semua racauan itu terbaca.
Jadi keputusan saya untuk memutuskan kontak dengannya, saya pikir itu baik untuk kami berdua.

Hingga saya tiba di suatu masa dimana saya sudah tidak lagi memikirkan dirinya, masa dimana diri ini baik-baik saja tanpa kehadiran dia.
Ini masa dimana saya kembali bisa merasakan dan menghargai kasih dan anugerah Tuhan yang sempat saya pertanyakan di hari-hari kekecewaan saya.

Tiba-tiba di masa tenang saya, dia muncul lagi.
Saya masih tidak apa-apa sebenarnya dengan kemunculan dirinya.
Dan karena saya pikir saya sudah baik-baik saja, maka saya menerima kemunculan dirinya.

Sampai akhirnya awan kelabu itu datang lagi menaungi hari-hari saya.
Dia...
Orang yang yang tidak menginginkan saya itu...
Kembali membuka luka saya yang belum sepenuhnya sembuh.

Di titik ini, saya merasa dia egois sekali.

Saya sudah baik-baik saja...
Tapi dia datang lagi...
Menyayangkan semuanya(yang sudah terjadi)...
Menyesali pilihan saya untuk bertanya...

Saya sampai berpikir:
So you mean: everything is ruined becos of me?
Well if you think so...
You can think as you want...

Kemudian saya bilang padanya, kalau yang ia lakukan hanya membuat saya menjadi tidak baik-baik saja.
Sesungguhnya saya berharap ia mengerti bahwa butuh usaha besar untuk saya bisa sampai di titik baik-baik saja setelah menerima jawaban dari dirinya.
Tapi nampaknya ia hanya ingin dimengerti.
Ya saya pun tau dia masih dalam masa-masa sulit dengan segala masalah lain yang ia punya.
Tapi tidakkah saya juga punya hak untuk bertanya.
Saya tidak pernah menyesali apa yang sudah saya tanyakan, apapun itu jawabannya.
Sesungguhnya lebih baik buat saya menerima jawaban terburuk, toh setiap badai pasti berlalu.
Ketimbang harus bergulat sendiri dalam ketidak-jelasan, tenggelam dalam asumsi demi asumsi yang tidak akan pernah menjawab apapun.
Saya tidak akan menemukan akhir(baik yang membahagiakan maupun yang mengecewakan) kalau saya tidak mencari tahu.

Kalau menurut dia akibat dari keputusan saya, itu membuat kehidupannya menjadi (semakin)tidak baik.
Saya pikir itu egois.

Seingat saya pun, waktu itu dia yang menawarkan apakah ada yang masih ingin saya tanyakan.
Karena sebelumnya saya sudah mengurungkan niat untuk bertanya, ketika dia bilang dia tidak siap.
Kemudian saya tidak pernah mengungkit apapun sampai dia sendiri yang menawarkan.

Di titik ini saya sulit untuk kembali mencoba mengerti situasi dirinya, karena saya pun tersakiti.