5.12.14

at this point, I think you're selfish

Sebenarnya sudah tidak ingin membahas lagi, apapun itu tentang dia.
Ya anggaplah ini yang terakhir, saya akan bahas semuanya.
Ya, semuanya...semua yang tidak pernah tersampaikan.

Saya pada akhirnya merasa bahwa mungkin dia memang tidak baik buat saya.
Apa yang terjadi seminggu kebelakang, membuat saya berpikir ternyata dia egois.

Saya sebelumnya melihat dia sebagai figur yang bisa dikatakan (sangat)baik untuk ukuran seorang laki-laki.
Tidak peduli berapa kalipun teman-teman terbaik saya berkicau tentang dia yang dilihat dari manapun tidak bagus-bagus amat (kata mereka).

Saya biasa berpikir bahwa toh di dunia ini tidak ada orang yang sempurna, segala kekurangan dia kalau ditimbang-timbang...yah...ketutuplah sama semua kebaikannya.
Itu yang selalu ada di otak saya ketika teman-teman saya mulai geregetan mendengarkan cerita-cerita saya tentang dia.
Ya...begitulah kalau kerja hati(perasaan) lebih dominan dari kerja otak.
Ya namanya juga pake "sayang"

Bertahun-tahun (sebenarnya tidap pernah berpikir kalau akan sampai menjadi hitungan tahun) saya membiarkan diri saya melihat dia dengan pemahaman seperti itu.
Ada begitu banyak eksepsi-eksepsi yang saya ciptakan di sepanjang tahun-tahun tersebut.
Ada banyak hal yang baru saya sadari bahwa tadinya hal-hal macam itu termasuk dalam kategori "enggak banget" di sudut pandang saya ketika menilai laki-laki, namun kemudian menjadi "sebenernya engga apa-apa sih" ketika hal-hal tersebut ada di diri dia.

Saya sempat bertanya sama diri saya, apakah ini simpati atau sayang?
Tapi ketika air mata mulai hadir dalam perjalanan ini, saya pikir ini bukan sekedar simpati atau bahkan empati.
Ketika dada ini sesak melihat dia terpuruk, saya percaya bahwa ada dia di salah satu sudut hati saya.
Dan ketika dia hadir dalam doa-doa (bukan satu dua kali) saya, bisa dipastikan dia menempati ruang khusus di hati saya.

Sesungguhnya saya tidak pernah meminta dia pada Tuhan dalam doa-doa saya kalau saya tidak salah ingat.
Namanya terucap di doa saya semata untuk memintakan hal-hal yang terbaik terjadi padanya.
Meski di bulan-bulan terakhir, namanya juga hadir ketika saya bercerita pada Tuhan betapa perasaan saya untuk dia semakin menyesakkan.

Saya tau bahwa yang dia hadapi beberapa tahun terakhir ini tidak mudah.
Saya juga termasuk orang yang percaya bahwa kita tidak boleh melihat persoalan orang lain lebih ringan atau lebih berat dari yang kita miliki karena kita tidak tau apa yang akan terjadi jika kita di posisi mereka.
Dan karena inilah saya sempat berjanji pada diri saya untuk menyimpan rasa ini untuk saya sendiri.
Tapi pada akhirnya saya tidak menepati janji itu.

Mungkin saya terlalu banyak berharap, atau mungkin saya yang telah mengartikan banyak hal yang dilakukannya kepada saya secara berlebihan, atau mungkin juga rasa yang saya simpan sendiri itu terlalu menyesakkan saya... atau apalah.. saya juga tidak menegrti.
Hingga salah satu teman saya bilang bahwa kenapa harus disimpan sendiri, pusing sendiri, galau sendiri, sedih sendiri.
Kalau itu semua karena dia, maka dia berhak untuk tau.
Tapi kemudian saya berpikir, dia harus tau? Itu berarti saya harus mengatakan(lagi) apa yang saya rasa kepada dia...
Ini akan jadi lelucon buat diri saya sendiri. Saya hanya akan mempermalukan diri saya sendiri.
Tidak cukupkah sekali untuk menyatakan perasaan? Sebegitunyakah diri ini menginginkan dirinya?

Sementara pertanyaan-pertanyaan itu menggema di kepala saya, semua asumsi tentang apa yang sedang berlangsung anatara saya dan dia juga terus berjalan.
Teman saya kemudian bilang lagi bahwa semua yang ada di kepala saya hanyalah asumsi (ya benar memang).
Dan semua asumsi itu hanya menyusahkan saya.
Kalau saya mau berhenti berasumsi dan tau apa yang sedang terjadi, maka saya harus bertanya pada dia.
Begitu kata teman saya.

Maka tibalah saya di titik kelelahan yang sangat luar biasa bergulat dengan asumsi-asumsi saya.
Lalu saya putuskan untuk bertanya kepada dia semata untuk mencari kejelasan.
Dengan menenggelamkan seluruh harga diri ini, saya bertanya.

Dan tanpa saya tulispun, pasti sudah jelas sekali apa jawabannya.
Kalau jawabannya membahagiakan, tentu saya tidak akan menulis post sepanjang ini.
Tapi poin pentingnya bukan soal bahagia, tapi apakah jawabannya cukup menjawab semua yang saya ingin tau.
Ternyata tidak menjawab semuanya memang.
Tapi paling tidak, dengan jawaban singkat yang dia berikan saya tahu bahwa "kesempatan"itu tidak ada buat kami berdua.

Selepas menerima jawaban singkat nan pahit tersebut, saya menutup semua kontak dengan dia (bukan karena saya ingin).
Dan saya memberitahu dia sebelum melakukan itu.
Saya pikir, saya butuh waktu (entah berapa lama) untuk bisa mematikan rasa yang ada, juga menghapus semua harapan yang sempat tercipta.
Satu-satunya cara mensukseskan itu semua pasti dengan ketidak-hadiran dirinya di hari-hari saya.

Tidak mudah (sulit sekali lebih tepatnya) menjalani hari-hari saya dalam kekecewaan dan absensi dirinya.
Saya banyak meracau di hampir semua akun media sosial yang saya punya.
Ini baik untuk melepaskan semua energi negatif hari-hari itu, dan tanpa ada dirinya di semua media sosial itu juga membuat saya tidak khawatir kalau-kalau dia akan terbebani oleh semua racauan saya.
Tentu haya akan menyakiti dia kalau semua racauan itu terbaca.
Jadi keputusan saya untuk memutuskan kontak dengannya, saya pikir itu baik untuk kami berdua.

Hingga saya tiba di suatu masa dimana saya sudah tidak lagi memikirkan dirinya, masa dimana diri ini baik-baik saja tanpa kehadiran dia.
Ini masa dimana saya kembali bisa merasakan dan menghargai kasih dan anugerah Tuhan yang sempat saya pertanyakan di hari-hari kekecewaan saya.

Tiba-tiba di masa tenang saya, dia muncul lagi.
Saya masih tidak apa-apa sebenarnya dengan kemunculan dirinya.
Dan karena saya pikir saya sudah baik-baik saja, maka saya menerima kemunculan dirinya.

Sampai akhirnya awan kelabu itu datang lagi menaungi hari-hari saya.
Dia...
Orang yang yang tidak menginginkan saya itu...
Kembali membuka luka saya yang belum sepenuhnya sembuh.

Di titik ini, saya merasa dia egois sekali.

Saya sudah baik-baik saja...
Tapi dia datang lagi...
Menyayangkan semuanya(yang sudah terjadi)...
Menyesali pilihan saya untuk bertanya...

Saya sampai berpikir:
So you mean: everything is ruined becos of me?
Well if you think so...
You can think as you want...

Kemudian saya bilang padanya, kalau yang ia lakukan hanya membuat saya menjadi tidak baik-baik saja.
Sesungguhnya saya berharap ia mengerti bahwa butuh usaha besar untuk saya bisa sampai di titik baik-baik saja setelah menerima jawaban dari dirinya.
Tapi nampaknya ia hanya ingin dimengerti.
Ya saya pun tau dia masih dalam masa-masa sulit dengan segala masalah lain yang ia punya.
Tapi tidakkah saya juga punya hak untuk bertanya.
Saya tidak pernah menyesali apa yang sudah saya tanyakan, apapun itu jawabannya.
Sesungguhnya lebih baik buat saya menerima jawaban terburuk, toh setiap badai pasti berlalu.
Ketimbang harus bergulat sendiri dalam ketidak-jelasan, tenggelam dalam asumsi demi asumsi yang tidak akan pernah menjawab apapun.
Saya tidak akan menemukan akhir(baik yang membahagiakan maupun yang mengecewakan) kalau saya tidak mencari tahu.

Kalau menurut dia akibat dari keputusan saya, itu membuat kehidupannya menjadi (semakin)tidak baik.
Saya pikir itu egois.

Seingat saya pun, waktu itu dia yang menawarkan apakah ada yang masih ingin saya tanyakan.
Karena sebelumnya saya sudah mengurungkan niat untuk bertanya, ketika dia bilang dia tidak siap.
Kemudian saya tidak pernah mengungkit apapun sampai dia sendiri yang menawarkan.

Di titik ini saya sulit untuk kembali mencoba mengerti situasi dirinya, karena saya pun tersakiti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar